Archives

Membangkitkan Ekonomi Para Nelayan


NELAYAN mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.

Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh terhadap mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum mencapai kemajuan seperti sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan

Vicious Circle l
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita, angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Faktor Penyebab

Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus segera ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan di negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama yang kurang berpendidikan untuk menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai masyarakat urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi.

Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya membayar utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan menurut selera para juragan.
Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.


Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan ekonomi petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil merupakan second generation problem yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin.
Di Provinsi Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI.
TPI Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di Indonesia.
Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan segera dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan ekonomi mereka.
Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.
Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan. (18)

Masalah Klasik Perikanan


Masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi
kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan egosentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Selama ini peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia belum optimal. Hal ini dicerminkan oleh lemahnya data perikanan Indonesia, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya armada tangkap nasional, maraknya aksi illegal fishing (pencurian ikan) serta lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan perizinan usaha perikanan, dan masih banyak lagi permasalahan kelautan dan perikanan lainnya yang belum terselesaikan.Oleh karena itu sangat wajar, bila masyarakat perikanan di seluruh Indonesia mengharapkan terjadinya perubahan yang signifikan di dunia kelautan dan perikanan. Namun tidak bermaksud merendahkan kemampuan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, penulis masih ragu hal ini dapat dituntaskan, karena permasalahan kelautan dan perikanan sangat kompleks dan klasik, sehingga penulis mengibaratkan permasalahan ini seperti "lagu lama, kopi baru". Artinya, masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan ego sentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Harapan tinggal harapan, karena kabinet telah terbentuk dan akan menjalankan tugasnya selama lebih kurang lima tahun. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah memantau program-program kerja yang akan dilaksanakan, serta memberikan tanggapan atas efektivitas dan efisiensi keberhasilan program kerja tersebut. Akankah di bawah nahkoda yang baru, dunia kelautan dan perikanan Indonesia semakin terurus dan maju?

Permasalahan Klasik
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia sangat kompleks. Lebih dari itu, permasalahan tersebut bersifat klasik yang diwariskan dari tahun ke tahun, sehingga ibarat dosa turun temurun. Adapun permasalahan klasik yang terjadi di dunia kelautan dan perikanan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, lemahnya data perikanan, khususnya untuk data perikanan tangkap.Hingga saat ini, data perikanan tangkap Indonesia diperoleh dari pendaratan hasil tangkapan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa tempat-tempat pendataan ikan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di beberapa daerah hampir tidak ada atau keberadaannya tidak merata. Kalau pun ada, fungsi TPI tidak berperan sehingga mengakibatkan masyarakat nelayan terjebak permainan tengkulak. Dengan demikian, TPI yang juga berfungsi sebagai pencatat pendaratan ikan tidak berperan sebagaimana mestinya. Selain itu, pihak pengusaha yang mendaratkan ikannya juga kerap memberikan data yang tidak sebenarnya alias di bawah data hasil tangkapan yang diperoleh.Lemahnya data perikanan tersebut akan berdampak pada biasnya kebijakan yang akan dikeluarkan atau diputuskan. Misalnya saja, di suatu daerah tidak memiliki TPI (Tempat Pelelangan Ikan), sementara perizinan penangkapan ikan terus dikeluarkan. Akibatnya adalah over-fishing dan kemiskinan nelayan yang disertai konflik di wilayah laut tersebut, baik konflik kelas sosial, konflik fishing ground, maupun konflik identitas (primordial). Lebih dari itu, lemahnya data perikanan tangkap tersebut berdampak pada rawannya hubungan dagang internasional, karena akuntabilitas dan akuratibilitas data harus dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence)sebagaimana yang dituangkan Pasal 61 UNCLOS 1982.Ketentuan internasional lainnya yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, di antaranya yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995), dan International Plan of Action-Illegal Unreported Unregulated Fishing (IPOA-IUU 1999).Berdasarkan ketentuan perikanan internasional itu,lemahnya data perikanan dapat mengakibatkan kerawanan dalam perdagangan perikanan Indonesia di pasar internasional.Namun demikian, masalah lemahnya data perikanan Indonesia mulai mendapatkan perhatian pemerintah pada Undang-undang Perikanan yang baru disahkan, yaitu pada Bab VI tentang Sistem Informasi Data Statistik Perikanan.Namun bagaimana nanti aplikasinya? kita lihat nanti.

Kedua, kemiskinan masyarakat nelayan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat nelayan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (vicious circle). Panjang pantai 81.000 km beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin panjang pantai maka semakin banyak penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dikarenakan, wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan.Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan, yaitu alamiah (kondisi lingkungan sumberdaya), kultural (budaya), dan struktural (keberpihakan pemerintah). Dari ketiga penyebab itu, masalah struktural merupakan faktor penting dan paling dominan, sehingga sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kehidupan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional). Dengan demikian, kontinuitas keberpihakan pemerintah yang diejawantahkan dengan program-program pemberdayaan harus tetap digalakkan sesuai Bab IX Undang-undang Perikanan yang baru.Tentu saja, kebijakan yang ditujukan pada masyarakat nelayan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat serta karakteristik sumberdaya (geografis)-nya.

Ketiga, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Penulis sangat sedih akan data itu, ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah tidak mempunyai kebijakan untuk menciptakan armada perikanan tangkap nasional sebagai tuan rumah di negerinya sendiri?

Keempat, permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisionalkarena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan.

Kelima, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19,Oktober 2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus.Dengan demikian, sudah dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu 16 hari tanpa biaya tambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

Penutup
Sebagai salah satu dari lima sektor prioritas tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, maka nahkoda DKP yang baru harus lebih cerdas untuk membuat kebijakan yang dapat membawa bangsa Indonesia dan rakyatnya menjadi lebih mandiri dan sejahtera. Khususnya, dapat menyelesaikan kompleksnya permasalahan yang melilit kelautan dan perikanan selama ini. Oleh karena itu, marilah kita menunggu kebijakan 100 hari Menteri Freddy Numbery. Kalau gagal, keberadaannya pada Kabinet Indonesia Bersatu patut dipertanyakan, karena masih banyak para pakar kelautan dan perikanan Indonesia yang berlatar belakang profesional (baca: akademisi). ***
Penulis adalah mahasiswa

Category:   1 Comment
Terobosan Kreatif Mengatasi Keterpurukan Nelayan

Cerita kehidupan nelayan yang miskin dan tertinggal adalah cerita yang sudah akrab ditelinga. Perkampungan mereka yang jorok, kumuh, tidak higienis juga bukan cerita baru. Secara ekonomi, nelayan adalah tipikal masyarakat yang subsisten dan sangat bergantung kepada bantuan orang lain untuk menyambung hidup. Memang ada juga yang hidupnya maju dan sejahtera, tapi yang seperti itu relatif sedikit. Persoalan klasik nelayan dari dulu hingga kini tetap sama, yakni tidak pernah beranjak dari masalah kepemilikan modal, penguasaan tekologi, dan masalah entrepreneurship. Tetapi uniknya meskipun masalah-masalah itu telah diketahui, dan pemerintah juga telah melakukan berbagai kegiatan pembangunan, nasib nelayan masih belum juga berubah.
Lautnya Kaya Tapi Nelayannya Miskin, Apa Yang Salah?

Potret nelayan yang miskin seperti tersebut di atas sebenarnya adalah juga potret nelayan Indonesia pada umumnya. Kondisi ini memang terasa aneh dan kontradiktif, betapa tidak, mereka miskin ditengah kondisi laut Indonesia yang konon potensinya sangat melimpah. Bagaikan ayam mati di lumbung padi, begitu kata peribahasa. Coba kita simak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau. Garis pantainya membentang sepanjang 81.000 kilometer. Indonesia juga memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5,8 juta km2 – tiga kali lebih luas dari daratannya. Indonesia juga dikenal sebagai negara terkaya di dunia dengan keragaman hayati-nya, wow bukan main…!
Kayanya laut Indonesia bahkan sempat diabadikan oleh grup musik legendaris Koes Plus dengan dendang lagunya “… bukan lautan hanya kolam susu, kain dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udangpun menghampiri dirimu…”
Tapi sayang, lain lagu lain kenyataan, laut yang demikian kaya tidak diikuti dengan kaya dan sejahteranya nelayan. Boro-boro kaya, untuk makan sehari-hari saja sulit, begitu nelayan mengungkapkan. Sekarang ini, melaut seharian tidak menjamin nelayan pulang membawa ikan. Kalaupun ada, belum tentu sepadan dengan ongkos bahan bakar dan ongkos perbekalan selama melaut.
Lantas kalau begitu, kira-kira dimana letak persoalannya, kenapa nelayan tetap miskin dan susah, apakah pemerintahnya tidak turun tangan? Rasanya tidak juga, kita sama-sama tahu bahwa pemerintah terus berupaya membangun kesejahteraan nelayan. So, what seems to be the problem?