Masalah Klasik Perikanan


Masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi
kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan egosentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Selama ini peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia belum optimal. Hal ini dicerminkan oleh lemahnya data perikanan Indonesia, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya armada tangkap nasional, maraknya aksi illegal fishing (pencurian ikan) serta lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan perizinan usaha perikanan, dan masih banyak lagi permasalahan kelautan dan perikanan lainnya yang belum terselesaikan.Oleh karena itu sangat wajar, bila masyarakat perikanan di seluruh Indonesia mengharapkan terjadinya perubahan yang signifikan di dunia kelautan dan perikanan. Namun tidak bermaksud merendahkan kemampuan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, penulis masih ragu hal ini dapat dituntaskan, karena permasalahan kelautan dan perikanan sangat kompleks dan klasik, sehingga penulis mengibaratkan permasalahan ini seperti "lagu lama, kopi baru". Artinya, masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan ego sentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Harapan tinggal harapan, karena kabinet telah terbentuk dan akan menjalankan tugasnya selama lebih kurang lima tahun. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah memantau program-program kerja yang akan dilaksanakan, serta memberikan tanggapan atas efektivitas dan efisiensi keberhasilan program kerja tersebut. Akankah di bawah nahkoda yang baru, dunia kelautan dan perikanan Indonesia semakin terurus dan maju?

Permasalahan Klasik
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia sangat kompleks. Lebih dari itu, permasalahan tersebut bersifat klasik yang diwariskan dari tahun ke tahun, sehingga ibarat dosa turun temurun. Adapun permasalahan klasik yang terjadi di dunia kelautan dan perikanan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, lemahnya data perikanan, khususnya untuk data perikanan tangkap.Hingga saat ini, data perikanan tangkap Indonesia diperoleh dari pendaratan hasil tangkapan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa tempat-tempat pendataan ikan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di beberapa daerah hampir tidak ada atau keberadaannya tidak merata. Kalau pun ada, fungsi TPI tidak berperan sehingga mengakibatkan masyarakat nelayan terjebak permainan tengkulak. Dengan demikian, TPI yang juga berfungsi sebagai pencatat pendaratan ikan tidak berperan sebagaimana mestinya. Selain itu, pihak pengusaha yang mendaratkan ikannya juga kerap memberikan data yang tidak sebenarnya alias di bawah data hasil tangkapan yang diperoleh.Lemahnya data perikanan tersebut akan berdampak pada biasnya kebijakan yang akan dikeluarkan atau diputuskan. Misalnya saja, di suatu daerah tidak memiliki TPI (Tempat Pelelangan Ikan), sementara perizinan penangkapan ikan terus dikeluarkan. Akibatnya adalah over-fishing dan kemiskinan nelayan yang disertai konflik di wilayah laut tersebut, baik konflik kelas sosial, konflik fishing ground, maupun konflik identitas (primordial). Lebih dari itu, lemahnya data perikanan tangkap tersebut berdampak pada rawannya hubungan dagang internasional, karena akuntabilitas dan akuratibilitas data harus dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence)sebagaimana yang dituangkan Pasal 61 UNCLOS 1982.Ketentuan internasional lainnya yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, di antaranya yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995), dan International Plan of Action-Illegal Unreported Unregulated Fishing (IPOA-IUU 1999).Berdasarkan ketentuan perikanan internasional itu,lemahnya data perikanan dapat mengakibatkan kerawanan dalam perdagangan perikanan Indonesia di pasar internasional.Namun demikian, masalah lemahnya data perikanan Indonesia mulai mendapatkan perhatian pemerintah pada Undang-undang Perikanan yang baru disahkan, yaitu pada Bab VI tentang Sistem Informasi Data Statistik Perikanan.Namun bagaimana nanti aplikasinya? kita lihat nanti.

Kedua, kemiskinan masyarakat nelayan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat nelayan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (vicious circle). Panjang pantai 81.000 km beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin panjang pantai maka semakin banyak penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dikarenakan, wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan.Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan, yaitu alamiah (kondisi lingkungan sumberdaya), kultural (budaya), dan struktural (keberpihakan pemerintah). Dari ketiga penyebab itu, masalah struktural merupakan faktor penting dan paling dominan, sehingga sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kehidupan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional). Dengan demikian, kontinuitas keberpihakan pemerintah yang diejawantahkan dengan program-program pemberdayaan harus tetap digalakkan sesuai Bab IX Undang-undang Perikanan yang baru.Tentu saja, kebijakan yang ditujukan pada masyarakat nelayan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat serta karakteristik sumberdaya (geografis)-nya.

Ketiga, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Penulis sangat sedih akan data itu, ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah tidak mempunyai kebijakan untuk menciptakan armada perikanan tangkap nasional sebagai tuan rumah di negerinya sendiri?

Keempat, permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisionalkarena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan.

Kelima, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19,Oktober 2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus.Dengan demikian, sudah dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu 16 hari tanpa biaya tambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

Penutup
Sebagai salah satu dari lima sektor prioritas tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, maka nahkoda DKP yang baru harus lebih cerdas untuk membuat kebijakan yang dapat membawa bangsa Indonesia dan rakyatnya menjadi lebih mandiri dan sejahtera. Khususnya, dapat menyelesaikan kompleksnya permasalahan yang melilit kelautan dan perikanan selama ini. Oleh karena itu, marilah kita menunggu kebijakan 100 hari Menteri Freddy Numbery. Kalau gagal, keberadaannya pada Kabinet Indonesia Bersatu patut dipertanyakan, karena masih banyak para pakar kelautan dan perikanan Indonesia yang berlatar belakang profesional (baca: akademisi). ***
Penulis adalah mahasiswa

Category:  
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.
1 Response
  1. Coastal fisheries conducted in shallow waters of the continental shelf in the area . Fishing on the beach in Malaysia for example carried out in waters such as the South China Sea
    suksestoto

Leave a Reply