Archives

Selamat Jalan Mbah Surip


Nama asli : Urip Ariyanto
Alias : Mbah Surip
Kelahiran : Mojokerto, Jawa Timur 5 Mei 1949
Gelar / titel : Drs, Ir dan MBA
Riwayat Pekerjaan : Engineer di pengeboran minyak, tambang berlian, tambang emas
Makanan Favorit : Perkedel kentang
Minuman favorit : Kopi Hitam

diperkirakan Mbah surip meninggal karena jarang makan, dengan hobbynya yang suka minum kopi dan merokok membuat pria kelahiran mojokerto ini malas makan sehingga terjadi gangguan pencernaan dan aktifiasnya yang sangat padat manggung sana sini di saat Mbah Surip di atas daun dengan lagu hitsnya TAK GENDONG.

selamat jalan Mbah surip semoga karya karyamu dapat dikenang oleh orang banyak.

Bom meledak di Hotel Ritz Carlton Kuningan


Ledakan yang diduga bom terjadi di Hotel Ritz Carlton Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (17/7). Peristiwa pukul 07.55 WIB itu mengagetkan warga di sekitar hotel. Kepulan asap bekas ledakan mengudara. Belum ada laporan korban jiwa ataupun luka.

Polisi tengah menyelidiki ledakan ini. Menurut laporan radio Sonora. sejumlah polisi berdatangan tak lama setelah ledakan. Arus lalu lintas di kawasan Mega Kuningan, yang padat merayao mulai macet. Pengguna jalan diimbau untuk mencari jalan alternatif.

Bom ini di duga masih ada keterlibatan teroris yang lagi di cari cari Nurdin M Top
dan pengikutnya.

Dukung Pulau Komodo sebagai keajaiban Dunia terbaru


Taman Nasional Komodo terletak di Wilayah Wallacea Indonesia, yang diidentifikasi oleh WWF dan Conservation International global sebagai prioritas konservasi. Taman yang terletak antara pulau Sumbawa dan Flores di perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTP) propinsi. Terdiri dari tiga pulau utama, Komodo, Rinca, dan Padar, dan banyak pulau kecil bersama total 603 km2 tanah. Ukuran total Komodo National Park sekarang 1.817 km2. Usulan ekstensi dari 25 km2 lahan (banta Pulau) dan 479 km2 dari air laut akan membawa total area permukaan hingga 2.321 km2. (Klik pada peta untuk memperbesar - 70kB)

Taman Nasional Komodo didirikan pada 1980 dan telah dinyatakan World Heritage Site dan Man and Biosphere Reserve oleh UNESCO pada tahun 1986. Taman awalnya dibentuk untuk melestarikan yang unik naga Komodo (Varanus komodoensis), yang pertama kali ditemukan oleh ilmiah di dunia 1911 oleh JKH Van Steyn. Sejak itu tujuan konservasi telah diperluas untuk melindungi semua keanekaragaman hayati, baik dan wilayah laut.

Taman Nasional Komodo (TNK) dibentuk pada tahun 1980 dan dinyatakan sebagai World Heritage Site serta Man and Biosphere Reserve oleh UNESCO pada tahun 1986. Semula kawasan tersebut ditetapkan untuk melestarikan satwa Komodo yang unik. Satwa Komodo pertama kali ditemukan oleh dunia ilmu pengetahuan tahun 1911. Kurator Museum Zoologi di Bogor, P.A. Ouwens, menerima laporan ditemukannya satwa komodo oleh J.K.H. Van Steyn, pegawai pemerintah Hindia Belanda.Ouwens memberi nama ilmiah Varanus Komodoensis Ouwens kepada satwa tersebut dalam karya tulis yang dimuat dalam “Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg”, dengan judul “On a large Varanus species from the island of Komodo.”

􀂙 Jenis-jenis satwa darat lain yang menonjol adalah Burung Gosong (Megapodius reinwardt), Tikus Rinca (Rattus rintjanus), dan Rusa Timor (Cervus timorensis). Sekitar 70% dari kawasan terrestrial berupa hutan savana padang rumput. Tipe habitat daratan yang lain berupa hutan tropis musim (monsoon) dan hutan kuasi awan di atas 500 m sepanjang punggung dan puncak perbukitan. Walaupun tersohor sebagai habitat satwa Komodo, TNK meliputi salah satu kawasan laut yang paling kaya di dunia,meliputi 1,214 km2 habitat laut dengan keanekaragaman tinggi, termasuk karang, mangrove, rumputlaut, dan teluk yang semi tertutup. Habitat-habitat tersebut mempunyai lebih dari 1000 spesies ikan,sekitar 260 spesies karang, dan 70 spesies bunga karang. Dugong (Dugong dugon), Lumba-lumba (10spesies), Paus (6 spesies), dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Cheloniamydas.

􀂙 TNK terletak di wilayah Wallacea Indonesia, yang diidentifikasi oleh WWF dan Conservation International sebagai kawasan prioritas konservasi dunia. TNK terletak antara Pulau Sumbawa danFlores, perbatasan antara Propinsi NTT dan NTB, mencakup 3 pulau utama yaitu Komodo, Rinca dan Padar, dan pulau kecil lain yang secara keseluruhan mencakup daratan 603 km2. Total luas TNK saat ini adalah 1.817 km2. Usulan penambahan 25 km2 (Gili Banta) dan 479 km2 perairan laut akan membuat total kawasan menjadi 2.321 km2.

Komodo National Park saat ini di antara tiga tujuan di Indonesia yang telah memenuhi syarat dalam New 7 Wonders of Nature kampanye yang diselenggarakan oleh New 7 Wonders Foundation (dua kandidat lainnya adalah Danau Toaba dan Pulau Krakatau). Anda dapat mendukung Taman Nasional Komodo menjadi New 7 Wonders of Nature oleh voting melalui URL berikut:

http://www.new7wonders.com/nature/en/liveranking/

Mayoritas orang-orang di dalam dan di sekitar Taman awalnya adalah nelayan dari Bima (Sumbawa), Manggarai, Flores Selatan, dan Sulawesi Selatan. Orang-orang dari Sulawesi Selatan yang berasal dari Suku Bajau Bugis atau kelompok etnis. Suku Bajau yang pada awalnya pengembara dan dipindahkan dari lokasi ke lokasi di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku, untuk membuat mata pencaharian mereka. Descendents dari orang asli Komodo, yang Ata Modo, masih tinggal di Komodo, tapi tidak ada darah murni orang kiri dan budaya dan bahasa mereka adalah yang lambat terpadu dengan pendatang baru.

Sedikit yang diketahui tentang sejarah awal dari Komodo islanders. Mereka pelajaran dari Kesultanan Bima, meski pulau terpencil dari Bima dimaksudkan dengan urusan yang mungkin sedikit troubled oleh Kesultanan selain sesekali oleh permintaan penghargaan.

Ada sekarang hampir 4.000 penduduk yang tinggal di dalam taman menyebar melalui empat permukiman (Komodo, Rinca, Kerora, dan Papagaran). Semua desa telah wujud sebelum 1980 sebelum kawasan itu dinyatakan taman nasional. Pada tahun 1928 hanya terdapat 30 orang yang tinggal di Desa Komodo, dan sekitar 250 orang pada 1930 di Pulau Rinca. Penduduk meningkat pesat, dan tahun 1999, terdapat 281 keluarga yang berjumlah 1.169 orang di Komodo, yang berarti bahwa penduduk setempat telah meningkat eksponensial. Komodo Desa telah meningkatkan jumlah penduduk tertinggi di desa-desa di dalam taman, sebagian besar disebabkan oleh migrasi orang dari Sape, Manggarai, Madura, dan Sulawesi Selatan. Jumlah bangunan di Kampung Komodo meningkat pesat dari 30 rumah pada tahun 1958, untuk 194 rumah di tahun 1994, dan 270 rumah di tahun 2000. Papagaran desa yang sama dalam ukuran, dengan 258 keluarga dengan total 1.078 orang. Pada 1999, Rinca populasi adalah 835, dan Kerora populasi adalah 185 orang. Saat ini jumlah penduduk yang tinggal di Taman 3.267 orang, sementara 16.816 orang tinggal di daerah sekitar segera Park.

Rata-rata tingkat pendidikan di desa-desa di Taman Nasional Komodo dari kelas empat SD. Ada sebuah SD yang berlokasi di masing-masing desa, namun baru siswa tidak direkrut setiap tahun. Rata-rata setiap desa memiliki empat kelas dan empat guru. Sebagian besar anak-anak dari pulau-pulau kecil di Kecamatan Komodo (Komodo, Rinca, Kerora, Papagaran, Mesa) tidak menyelesaikan sekolah dasar. Kurang dari 10% dari orang-orang yang tidak lulus dari SD akan melanjutkan ke SMA karena kesempatan ekonomi utama (ikan) tidak memerlukan pendidikan lanjutan. Anak-anak harus dikirim ke Labuan Bajo untuk menghadiri sekolah tinggi, namun hal ini jarang dilakukan nelayan dari keluarga.

Sebagian besar dari desa-desa yang terletak di dalam dan di sekitar taman air tawar ada beberapa fasilitas yang tersedia, jika ada, terutama pada musim kemarau. Penurunan kualitas air selama jangka waktu ini dan banyak orang menjadi sakit. Malaria dan diare adalah yg merajalela di daerah tersebut. Mesa di pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 1.500 orang, tidak ada air tawar yang tersedia. Air tawar yang dibawa oleh kapal dalam jerigen dari Labuan Bajo. Kebutuhan setiap keluarga rata-rata sebesar Rp 100.000 .- per bulan untuk membeli air tawar (2000). Hampir setiap desa memiliki fasilitas medis lokal dengan staf, dan setidaknya sebagai. Kualitas fasilitas perawatan medis yang rendah.

Sosial budaya ANTHROPOLOGIC DAN KETENTUAN
Tradisional Cukai: Traditional masyarakat Komodo, Flores dan Sumbawa telah terkena pengaruh ke luar dan pengaruh adat tradisional adalah dwindling. Televisi, radio, dan meningkatkan mobilitas semua berperan dalam mempercepat laju perubahan. Telah ada pemasukan tetap dari migran ke daerah. Saat ini hampir semua desa yang terdiri dari lebih dari satu suku.

Agama: Sebagian besar nelayan yang tinggal di desa-desa di sekitar Taman adalah Islam. Hajis memiliki pengaruh kuat dalam dinamika pembangunan masyarakat. Hailing nelayan dari Sulawesi Selatan (Bajau, Bugis) dan Bima sebagian besar Islam. Masyarakat Manggarai yang kebanyakan Kristen.

Antropologi dan Bahasa: Ada beberapa situs dalam budaya Park, terutama di Pulau Komodo. Situs-situs tersebut tidak didokumentasikan dengan baik, bagaimanapun, dan terdapat banyak pertanyaan mengenai sejarah manusia inhabitance di pulau itu. Luar Park, di Warloka desa di Flores, ada pos perdagangan Cina sisa beberapa bunga. Kepurbakalaan menemukan dari situs ini telah looted baru-baru ini di masa lalu. Sebagian besar masyarakat di dalam dan di sekitar Taman dapat berbicara bahasa Indonesia. Bahasa Bajo adalah bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari di sebagian besar masyarakat.

Terrestrial LINGKUNGAN FISIK
Topografi: Kondisi topografi yang bervariasi, dengan lereng 0-80%. Ada sedikit tanah datar, dan yang umumnya terletak di dekat pantai. Ketinggian yang bervariasi dari permukaan laut ke 735 m di atas permukaan laut. Tertinggi adalah puncak Gunung Satalibo di Pulau Komodo.

Geologi: Pulau-pulau di Taman Nasional Komodo merupakan gunung berapi di asal. Area pada titik waktu dua lempeng kontinental: Sahul dan Sunda. Gesekan yang kedua lempeng telah menyebabkan besar dan letusan gunung berapi menyebabkan up-dorongan dari terumbu karang. Meskipun tidak ada gunung berapi aktif di taman, tremors dari Gili banta (letusan terakhir 1957) dan Gunung Api Sangeang (letusan terakhir 1996) adalah umum. Barat Komodo mungkin dibentuk pada era Jurasic sekitar 130 juta tahun yang lalu. Timur Komodo, Rinca, dan Padar mungkin dibentuk sekitar 49 juta tahun lalu selama Eocene.

Iklim: Taman Nasional Komodo memiliki sedikit atau tidak ada hujan selama sekitar 8 bulan dari tahun lalu, dan sangat berdampak monsoonal oleh hujan. Tingkat kelembaban tinggi sepanjang tahun hanya ditemukan di dalam setengah-awan di hutan dan gunung tops ridges. Suhu umumnya berkisar antara 170C ke 340C, dengan rata-rata tingkat kelembaban 36%. Dari November sampai Maret angin dari barat dan menyebabkan ombak besar yang memukul seluruh panjang Komodo pulau pantai barat. Dari April sampai Oktober angin kering dan ombak besar memukul pantai selatan dari pulau Komodo dan Rinca.

Terrestrial ecosystems
Ekosistem wilayah yang sangat dipengaruhi oleh iklim: suatu musim kemarau panjang dengan suhu tinggi dan rendah curah hujan dan musim hujan monsun. Taman yang terletak di sebuah zona transisi antara Australia dan Asia flora dan fauna. Mencakup wilayah ekosistem daerah berhutan buka rumput savana, daun tropis (monsoon) hutan, dan hutan setengah awan.

Karena iklim yang kering, wilayah kekayaan spesies tanaman yang relatif rendah. Sebagian besar wilayah adalah spesies xerophytic dan adaptasi khusus untuk membantu mereka mendapatkan dan mempertahankan air. Telah kebakaran telah memilih untuk spesies yang diadaptasi-api, seperti beberapa jenis rumput dan shrubs. Tanaman ditemukan di wilayah Taman Nasional Komodo termasuk rumput, shrubs, anggrek, dan tanaman. Makanan jenis pohon penting untuk lokal fauna termasuk Jatropha curkas, Zizyphus sp., Opuntia sp., Tamarindus indicus, Borassus flabellifer, Sterculia foetida, Ficus sp., Cicus sp., ‘Kedongdong hutan’ (Saruga floribunda), dan ‘Kesambi’ (Schleichera oleosa).

Terrestrial FAUNA

Fauna di wilayah tersebut agak miskin keanekaragaman dibandingkan dengan fauna laut. Jumlah spesies hewan wilayah ditemukan di Taman tidak tinggi, tetapi di wilayah ini penting dari perspektif konservasi karena beberapa jenis adalah endemik .. Banyak mamalia yang asal di Asia (misalnya, rusa, babi, macaques, musang). Beberapa di antara reptil dan burung di Australia asal. Ini termasuk jeruk-footed scrubfowl, yang kurang-sulpher Crested kakatua dan friarbird nosy.

Reptil: yang paling terkenal dari Taman Nasional Komodo adalah reptil Komodo Dragon (Varanus komodoensis). Hal ini antara terbesar di dunia reptil dan dapat mencapai 3 meter atau lebih panjang dan lebih weigh 70kg. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang makhluk ini menarik klik di sini.

Selain Komodo Dragon dua belas jenis ular bumi yang ditemukan di pulau itu. termasuk cobra (Naja naja sputatrix), Russel’s pit viper (Vipera russeli), dan vipers pohon hijau (Trimeresurus albolabris). Lizards termasuk 9 skink spesies (Scinidae), geckos (Gekkonidae), tanpa kaki lizards (Dibamidae), dan tentu saja, monitor lizards (Varanidae). Frogs termasuk Asia kintel (Kaloula baleata), Oreophyne jeffersoniana dan Oreophyne darewskyi. Mereka biasanya di tinggi, moister altitudes.

Mamalia: Mammals termasuk Timor rusa (Cervus timorensis), penyebab utama dari mangsa Komodo naga, kuda (Equus sp.), Kerbau (Bubalus bubalis), babi hutan (Sus scrofa vittatus), long-tailed macaques (Macaca fascicularis) , sawit civets (Paradoxurus hermaphroditus lehmanni), yang endemik tikus Rinca (Rattus rintjanus), dan buah kelelawar. Anda juga bisa menemukan kambing, anjing dan kucing domestik.

Burung: Salah satu spesies burung adalah jeruk-footed scrub fowl (Megapodius reinwardti), yang merupakan tanah tempat tinggal burung. Dalam bidang savana, 27 spesies telah diamati. Geopelia striata dan Streptopelia chinensis adalah jenis yang paling umum. Dicampur gugur di habitat, 28 jenis burung yang diamati, dan Philemon buceroides, Ducula aenea, dan Zosterops chloris adalah yang paling umum.

MARINE LINGKUNGAN FISIK
Wilayah laut yang merupakan 67% dari Park. Air yang terbuka di Taman adalah antara 100 dan 200 m deep. The Straits antara Rinca dan Flores dan antara Padar dan Rinca, relatif dangkal (30 hingga 70 m deep), dengan kuat arus pasang surut. Kombinasi arus kuat, terumbu karang dan islets membuat navigasi di sekitar pulau-pulau di Taman Nasional Komodo sulit dan berbahaya. Bersembunyi deep pelabuhan tersedia di teluk Loh Liang dari pada Komodo dari pantai timur, South East pantai Padar, dan dari teluk Loh Kima dan Loh Dasami di Rinca.

Di sebelah utara dari taman air suhu berkisar antara 25 - 29 ° C. Di tengah-tengah, suhu berkisar antara 24 dan 28 ° C. Pada temperatur yang terendah di Indonesia, mulai dari 22 - 28 ° C. Air adalah salinitas 34 ppt dan air cukup jelas, walaupun air yang dekat dengan pulau-pulau yang relatif lebih keruh.

MARINE ekosistem
Indonesia adalah satu-satunya daerah khatulistiwa di dunia di mana terdapat pertukaran flora dan fauna laut antara India dan lautan Pasifik. Petikan di Nusa Tenggara Barat (sebelumnya di Lesser Sunda Islands) antara Sunda dan Sahul rak membolehkan gerakan antara samudra Pasifik dan India. Tiga ekosistem utama di Taman Nasional Komodo adalah seagrass beds, terumbu karang, dan hutan bakau. The Park mungkin biasa dr bangsa ikan paus rute migrasi.

MARINE FLORA
Tiga besar pesisir laut merupakan tanaman algae, seagrasses dan pohon bakau. Algae adalah tanaman primitif, yang tidak benar akar, daun atau berasal. Penting karang-bangunan algae adalah merah dr koral algae, yang sebenarnya secretes hard skeleton kapur yang dapat menatah semen dan karang mati bersama. Seagrasses modern adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah-buahan dan biji untuk reproduksi. Seperti namanya mereka, mereka biasanya terlihat seperti blades besar dari tumbuh-tumbuhan bawah di pasir dekat pantai. Thallasia sp. dan Zastera spp. adalah spesies umum yang ditemukan di Taman. Pohon bakau dapat hidup di tanah atau air asin, dan ditemukan di seluruh Park. Penilaian sumberdaya mangrove diidentifikasi setidaknya 19 jenis bakau yang benar dan beberapa spesies mangrove associates di Taman dari perbatasan.

MARINE FAUNA
Taman Nasional Komodo termasuk salah satu terkaya di dunia laut lingkungan. Terdiri dari forams, cnidaria (termasuk lebih dari 260 jenis karang karang bangunan), sponges (70 jenis), ascidians, cacing laut, mollusks, echinoderms, crustaceans, dan terdiri dr tulang rawan ikan bertulang (lebih dari 1.000 spesies), reptil laut, dan mamalia laut (lumba-lumba, ikan paus, dan dugongs). Beberapa spesies terkemuka dengan nilai komersial tinggi termasuk laut cucumbers (Holothuria), Napoleon wrasse (Cheilinus undulatus), dan groupers.

Bagimana Menuju Kesana

Meskipun kebanyakan pengunjung masuk Taman Nasional Komodo (knp) melalui pintu gerbang kota Labuan Bajo di Flores barat atau timur Bima di Sumbawa, merupakan titik keberangkatan perjalanan Anda benar-benar Denpasar, Bali.

oleh karenanya itu kita sebagai bangsa indonesia harus mendukung pulau komodo sebagai keajaiban terbaru di dunia dengan meng klik link di bawah ini

Http//:new 7wonders.com

Membangkitkan Ekonomi Para Nelayan


NELAYAN mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.

Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh terhadap mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum mencapai kemajuan seperti sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan

Vicious Circle l
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita, angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Faktor Penyebab

Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus segera ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan di negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama yang kurang berpendidikan untuk menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai masyarakat urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi.

Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya membayar utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan menurut selera para juragan.
Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.


Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan ekonomi petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil merupakan second generation problem yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin.
Di Provinsi Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI.
TPI Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di Indonesia.
Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan segera dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan ekonomi mereka.
Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.
Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan. (18)

Masalah Klasik Perikanan


Masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi
kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan egosentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Selama ini peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia belum optimal. Hal ini dicerminkan oleh lemahnya data perikanan Indonesia, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya armada tangkap nasional, maraknya aksi illegal fishing (pencurian ikan) serta lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan perizinan usaha perikanan, dan masih banyak lagi permasalahan kelautan dan perikanan lainnya yang belum terselesaikan.Oleh karena itu sangat wajar, bila masyarakat perikanan di seluruh Indonesia mengharapkan terjadinya perubahan yang signifikan di dunia kelautan dan perikanan. Namun tidak bermaksud merendahkan kemampuan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, penulis masih ragu hal ini dapat dituntaskan, karena permasalahan kelautan dan perikanan sangat kompleks dan klasik, sehingga penulis mengibaratkan permasalahan ini seperti "lagu lama, kopi baru". Artinya, masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan ego sentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Harapan tinggal harapan, karena kabinet telah terbentuk dan akan menjalankan tugasnya selama lebih kurang lima tahun. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah memantau program-program kerja yang akan dilaksanakan, serta memberikan tanggapan atas efektivitas dan efisiensi keberhasilan program kerja tersebut. Akankah di bawah nahkoda yang baru, dunia kelautan dan perikanan Indonesia semakin terurus dan maju?

Permasalahan Klasik
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia sangat kompleks. Lebih dari itu, permasalahan tersebut bersifat klasik yang diwariskan dari tahun ke tahun, sehingga ibarat dosa turun temurun. Adapun permasalahan klasik yang terjadi di dunia kelautan dan perikanan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, lemahnya data perikanan, khususnya untuk data perikanan tangkap.Hingga saat ini, data perikanan tangkap Indonesia diperoleh dari pendaratan hasil tangkapan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa tempat-tempat pendataan ikan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di beberapa daerah hampir tidak ada atau keberadaannya tidak merata. Kalau pun ada, fungsi TPI tidak berperan sehingga mengakibatkan masyarakat nelayan terjebak permainan tengkulak. Dengan demikian, TPI yang juga berfungsi sebagai pencatat pendaratan ikan tidak berperan sebagaimana mestinya. Selain itu, pihak pengusaha yang mendaratkan ikannya juga kerap memberikan data yang tidak sebenarnya alias di bawah data hasil tangkapan yang diperoleh.Lemahnya data perikanan tersebut akan berdampak pada biasnya kebijakan yang akan dikeluarkan atau diputuskan. Misalnya saja, di suatu daerah tidak memiliki TPI (Tempat Pelelangan Ikan), sementara perizinan penangkapan ikan terus dikeluarkan. Akibatnya adalah over-fishing dan kemiskinan nelayan yang disertai konflik di wilayah laut tersebut, baik konflik kelas sosial, konflik fishing ground, maupun konflik identitas (primordial). Lebih dari itu, lemahnya data perikanan tangkap tersebut berdampak pada rawannya hubungan dagang internasional, karena akuntabilitas dan akuratibilitas data harus dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence)sebagaimana yang dituangkan Pasal 61 UNCLOS 1982.Ketentuan internasional lainnya yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, di antaranya yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995), dan International Plan of Action-Illegal Unreported Unregulated Fishing (IPOA-IUU 1999).Berdasarkan ketentuan perikanan internasional itu,lemahnya data perikanan dapat mengakibatkan kerawanan dalam perdagangan perikanan Indonesia di pasar internasional.Namun demikian, masalah lemahnya data perikanan Indonesia mulai mendapatkan perhatian pemerintah pada Undang-undang Perikanan yang baru disahkan, yaitu pada Bab VI tentang Sistem Informasi Data Statistik Perikanan.Namun bagaimana nanti aplikasinya? kita lihat nanti.

Kedua, kemiskinan masyarakat nelayan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat nelayan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (vicious circle). Panjang pantai 81.000 km beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin panjang pantai maka semakin banyak penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dikarenakan, wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan.Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan, yaitu alamiah (kondisi lingkungan sumberdaya), kultural (budaya), dan struktural (keberpihakan pemerintah). Dari ketiga penyebab itu, masalah struktural merupakan faktor penting dan paling dominan, sehingga sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kehidupan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional). Dengan demikian, kontinuitas keberpihakan pemerintah yang diejawantahkan dengan program-program pemberdayaan harus tetap digalakkan sesuai Bab IX Undang-undang Perikanan yang baru.Tentu saja, kebijakan yang ditujukan pada masyarakat nelayan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat serta karakteristik sumberdaya (geografis)-nya.

Ketiga, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Penulis sangat sedih akan data itu, ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah tidak mempunyai kebijakan untuk menciptakan armada perikanan tangkap nasional sebagai tuan rumah di negerinya sendiri?

Keempat, permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisionalkarena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan.

Kelima, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19,Oktober 2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus.Dengan demikian, sudah dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu 16 hari tanpa biaya tambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

Penutup
Sebagai salah satu dari lima sektor prioritas tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, maka nahkoda DKP yang baru harus lebih cerdas untuk membuat kebijakan yang dapat membawa bangsa Indonesia dan rakyatnya menjadi lebih mandiri dan sejahtera. Khususnya, dapat menyelesaikan kompleksnya permasalahan yang melilit kelautan dan perikanan selama ini. Oleh karena itu, marilah kita menunggu kebijakan 100 hari Menteri Freddy Numbery. Kalau gagal, keberadaannya pada Kabinet Indonesia Bersatu patut dipertanyakan, karena masih banyak para pakar kelautan dan perikanan Indonesia yang berlatar belakang profesional (baca: akademisi). ***
Penulis adalah mahasiswa

Category:   1 Comment
Terobosan Kreatif Mengatasi Keterpurukan Nelayan

Cerita kehidupan nelayan yang miskin dan tertinggal adalah cerita yang sudah akrab ditelinga. Perkampungan mereka yang jorok, kumuh, tidak higienis juga bukan cerita baru. Secara ekonomi, nelayan adalah tipikal masyarakat yang subsisten dan sangat bergantung kepada bantuan orang lain untuk menyambung hidup. Memang ada juga yang hidupnya maju dan sejahtera, tapi yang seperti itu relatif sedikit. Persoalan klasik nelayan dari dulu hingga kini tetap sama, yakni tidak pernah beranjak dari masalah kepemilikan modal, penguasaan tekologi, dan masalah entrepreneurship. Tetapi uniknya meskipun masalah-masalah itu telah diketahui, dan pemerintah juga telah melakukan berbagai kegiatan pembangunan, nasib nelayan masih belum juga berubah.
Lautnya Kaya Tapi Nelayannya Miskin, Apa Yang Salah?

Potret nelayan yang miskin seperti tersebut di atas sebenarnya adalah juga potret nelayan Indonesia pada umumnya. Kondisi ini memang terasa aneh dan kontradiktif, betapa tidak, mereka miskin ditengah kondisi laut Indonesia yang konon potensinya sangat melimpah. Bagaikan ayam mati di lumbung padi, begitu kata peribahasa. Coba kita simak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau. Garis pantainya membentang sepanjang 81.000 kilometer. Indonesia juga memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5,8 juta km2 – tiga kali lebih luas dari daratannya. Indonesia juga dikenal sebagai negara terkaya di dunia dengan keragaman hayati-nya, wow bukan main…!
Kayanya laut Indonesia bahkan sempat diabadikan oleh grup musik legendaris Koes Plus dengan dendang lagunya “… bukan lautan hanya kolam susu, kain dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udangpun menghampiri dirimu…”
Tapi sayang, lain lagu lain kenyataan, laut yang demikian kaya tidak diikuti dengan kaya dan sejahteranya nelayan. Boro-boro kaya, untuk makan sehari-hari saja sulit, begitu nelayan mengungkapkan. Sekarang ini, melaut seharian tidak menjamin nelayan pulang membawa ikan. Kalaupun ada, belum tentu sepadan dengan ongkos bahan bakar dan ongkos perbekalan selama melaut.
Lantas kalau begitu, kira-kira dimana letak persoalannya, kenapa nelayan tetap miskin dan susah, apakah pemerintahnya tidak turun tangan? Rasanya tidak juga, kita sama-sama tahu bahwa pemerintah terus berupaya membangun kesejahteraan nelayan. So, what seems to be the problem?